>
Nama : Baginda Sultan Maulana, Alamat : Jalan Sultan Alauddin II/No. 6 Makassar-Indonesia 90221, HP : 081 342 587 xxx
DILARANG MEROKOK RUANG BLOG INI BER-AC

Rabu, 28 April 2010

Ingkar Al-Sunnah

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah
Kalangan ulama’ ada yang mebedakan pengertian sunnah dan hadits; dan adapula yang menyamakannya. Ulama’ hadits pada umumnya menyamakan pengertian kedua istilah tersebut. Dalam uraian ini, istilah sunnah disamakan pengertiannya dengan istilah hadits sebagaimana yang dinyatakan ulama hadits pada umumnya, yakni segala perkataan, perbuatan, dan taqrir beliau.
Pada zaman nabi, umat Islam sepakat bahwa sunnah merupakan salah satu sumber ajaran Islam di samping Alqur’an. Belum dan tidak ada bukti sejarah yang menjelaskan bahwa pada zaman nabi ada dari kalangan umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Mereka itu kemudian dikenal sebagai orang-orang yang berpaham INGKAR AL-SUNNAH.
Pada mulanya,mereka itu bertekad untuk melakukan sebuah perbaikan, namun ujung-ujungnya justru mengarah pada kesesatan. Paham ini memandang Alqur’an sebagai satu-satunya sumber ajaran Islam yang otentik, sedangkan al-sunnah tidak layak dipedomani.
Dengan demikian, kenyataan di atas kita mengetahui bahwa hal demikian tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sesungguhnya.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ingkar al-Sunnah
Ingkar al-Sunnah atau anti hadits adalah penolakan terhadap hadits-hadits Rasulullah s.a.w., dengan membatasi diri hanya kepada Alqur’an saja sebagai dasar dan sumber hukum. Jadi, golongan ini beramal dengan Alqur’an saja.

B. Sejarah Lahirnya Gerakan Ingkar al-Sunnah
Hadits atau Sunnah ialah segala perkataan, perbuatan atau pengakuan Nabi. Rasulullah saw., adalah penyampai wahyu dari Allah swt. Kadang kala Rasulullah menerangkan ayat Alqur’an melalui perbuatannya, dan adakalanya juga beliau menerangkan melalui pebuatan dan perkataan sekaligus. Sabda Baginda yang artinya : “Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat,” dan sabda Baginda lagi yang artinya : “Ambillah dari padaku perbuatan-perbuatan haji.” Kedua sabda Baginda ini merupakan penjelasan dari Alqur’an yang diterangkan secara umum. Firman Allah dalam (Q.S. Al-Hasyr : 7), sebagai berikut:
Terjemahnya :
“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah…”.

Dan firmannya lagi dalam (Q.S. Ali Imran : 31-32), sebagai berikut :
Terjemahnya :
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".

Para sahabat juga sepakat mengatakan hadits sebagai hujjah. Tidak ada seorangpun dari mereka yang hanya beramal dengan Alqur’an saja. Dan apa yang pernah diriwayatkan bahwa ada sebagian dari mereka yang menolak hadits yang diriwayatkan kepada mereka bukan bermakna menolaknya, tetapi dia tidak yakin dengan kesahan hadits tersebut atau terdapat hadits lain yang baginya lebih kuat.
Catatan pertama tentang penolakan sunnah pernah dituliskan oleh imam Syafi’i (150-204 H) di dalam bukunya Al-Umm. Menurut catatan tersebut, beliau telah berdebat dengan seorang anti hadits. Tetapi tidak pula disebutkan siapa orang itu. Beliau hanya menyebutkan orang itu sebagai musuh (Al-Khasm). Di dalam perdebatan tersebut mereka membahas tentang firman Allah swt. yang artinya : “Dialah yang telah mengutuskan kepada kaum yang ummi seorang Rasul di antara mereka, untuk membaca keterangan-keterangan Tuhan, membersihkan mereka dan mengajar kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah, sedangkan mereka berada dalam kesesatan yang nyata”.
Al-Khasm (musuh) : “Aku tahu bahwa al-Kitab itu ialah Alqur’an. Apapula yang dimaksud dengan al-Hikmah?”
Imam Syafi’I : “Sunnah Rasulullah saw”.
Al-Khasm (musuh) : “Mungkin al-Hikmah itu Alqur’an. Jadi ayat itu bermaksud Dia mengajar al-Kitab secara umum dan mengajar hukum-hukum secara khusus pula”.
Imam Syafi’I : “Sekiranya engkau berkata begitu, jadi ayat itu bermaksud Dia mengajar hukum-hukum Alqur’an yang disebut secara umum seperti shalat, zakat, haji dan lain-lain. Ini bermaksud Allah menentukan sesuatu hukum di dalam kitab-Nya. Kemudian Dia menerangkan hukum-hukum itu melalui lidah Rasul-Nya.
Al-Khasm (musuh) : “ Boleh jadi juga”
Imam Syafi’I : “Sekiranya anda berpegang pada pendapat yang kedua (al-Hikmah berarti perincian terhadap makna Alqur’an), anda tidak akan menjumpai hukum-hukum ini melainkan dengan hadits Rasulullah saw.
Al-Khasm (musuh) : “Kalau sekiranya aku berkata pula, al-Kitab dan al-Hikmah ini termasuk dalam jenis pengulangan perkataan?”
Imam syafi’I : “Yang manakah lebih baik? Membawa satu makna ke dalam dua perkataan atau masing-masing mempunyai pengertian yang berbeda?”
Al-Khasm (musuh) : “Barangkali juga seperti yang engkau katakan. Al-Kitab adalah Alqur’an dan al-Hikmah adalah sunnah. Dan kemungkinan lain juga akan berlaku bahwa al-Kitab ialah al-Hikmah itu sendiri.”
Imam Syafi’I : “Tetapi yang paling jelas maknanya ialah yang pertama. Hal tersebut karena ada bukti dari Alqur’an yang membenarkannya.”
Al-Khasm (musuh) : “Yang mana itu?”
Imam Syafi’I : “Firman Allah dalam surah al-Ahzab ayat 34 yang artinya : “Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumah-rumah kalian dari ayat-ayat Allah dan al-Hikmah.”
Al-Khasm (musuh) : “Alqur’an memang boleh dibaca. Tetapi bagaimana pula dengan membaca al-Hikmah?”
Imam Syafi’I : “Jadi makna membaca ialah membaca sunnah seperti membaca Alqur’an.”
Al-Khasm (musuh) : “Kalau begitu yang dimaksud dengan al-Hikmah lebih mirip dengan apa yang kamu maksudkan.”
Pada zaman ini, terdapat juga intelek-intelek yang mengaku sebagai Islam, mempopulerkan kembali ide-ide ini. Di antaranya rencana yang ditulis oleh Dr. Taufiq Sidqi yang bertajuk “Islam Adalah Alqur’an Saja”. Rencana ini disiarkan dalam majalah al-Manar halaman 7 dan 12. dapat disimpulkan isi-isinya sebagai berikut :
1. Dia mengambil dalil dari firman Allah dalam (Q.S. Al-An’am :38) yang berbunyi :
Terjemah :
“…tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab…”

Menurutnya, ayat ini bermaksud bahwa Alqur’an telah mengandung semua hukum. Jadi Alqur’an tidak perlu kepada benda lain untuk menerangkannya seperti as-Sunnah.
2. Dia juga telah mengambil dalil dari Alqur’an surah Al-Hijr ayat 9 yang artinya : “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Alqur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” Menurutnya, Allah hanya memerintahkan supaya memelihara Alqur’an saja tanpa memelihara sunnah. Sekiranya sunnah juga merupakan dalil dan boleh dijadikan hujjah seperti Alqur’an, tentulah Allah akan memerintahkan untuk memeliharanya juga.
3. Menurutnya Sunnah hanya dituliskan pada zaman dahulu dan ada sebahagian yang sudah hilang. Penyelewengan dan pengubahan mudah saja terjadi dalam hadits. Olehnya itu, perkara yang meragukan ini tidaklah pantas untuk dijadikan sumber hukum syara’.
4. Dia mengatakan bahwa nabi juga pernah mengatakan sunnah tidak boleh diterima sebagai sumber hukum. Alasannya, ada sabda nabi saw. yang artinya: “Sesungguhnya hadits itu akan tersebar dari aku. Bahwa sesuatu apapun yang datang kepadamu sesuai dengan Alqur’an, berarti dari aku dan sesuatu yang datang kepadamu menyalahi Alqur’an, berarti bukan dari aku.”
Dr. Mustafa as-Sibai’ ketika menjawab dakwaan-dakwaan ini mengatakan :
1. Alqur’an mengandung dasar-dasar hukum secara umum. Sebagian hukum dijelaskan secara terang. Sementara itu, sebagian lalu ditinggalkan kepada Rasulullah saw. untuk diterangkannya. Allah Ta’ala mengutus Rasul kepada manusia untuk menjelaskan hukum agama. Justru, Allah mewajibkan kepada manusia untuk mengikuti apa yang disampaikan oleh Rasulullah saw.
2. Penjagaan terhadap adz-Dzikr sebenarnya tidak terhad kepada Alqur’an semata. Tapi ia bermaksud hukum-hukum agama atau hukum-hukum syara’ yang telah disampaikan kepada Rasul-Nya. Justru, adz-Dzikr lebih umum daripada Alqur’an as-Sunnah. Dalilnya ialah firman Allah yang artinmya : “Bertanyalah kepada ahl adz-Dzikr sekiranya kamu tidak mengetahui.” (an-Nahl ayat 43). Maka jelaslah bahwa yang dimaksud ahl adz-Dzikr adalah orang yang mempunyai ilmu di dalam syari’at dan hukum-hukum Islam. Tidak diragukan lagi bahwa Allah memelihara as-Sunnah sebagaimana Dia memelihara Alqur’an.
3. Kebanyakan mereka tidak pernah mencoba menyelidiki usaha-usaha ulama’ Islam dalam mengekang penyelewengan dan pemalsuan hadits. Apabila sunnah dibawa dari satu generasi ke generasi selanjutnya, ia di bawa dengan susunan riwayat yang berurutan dari zaman sahabat hingga akhir piode pertama. Jadi tidak ada ruang bagi kita meragukan kesahihan hadits tersebut karena para perawi hadits tersebut harus memenuhi beberapa syarat yang ketat.
4. Hadits yang disebutkan di dalam dakwaan Dr. Taufiq Sidqi ialah “Dari Khalid Ibn Abi Karimah dari Abu Ja’far dari Rasulullah saw.” “ Khalid adalah seseorang yang tidak dikenali sedangkan Abu Ja’far bukanlah seorang sahabat Rasulullah. Maka apa yang dikatakan hadits tadi adalah Munqati’,yaitu hadits yang tidak bersambung sanadnya, baik yang dsandarkan kepada nabi, maupun yang disandarkan kepada yang lain. Jadi, hadits ini tidak boleh diterima sebagai dalil untuk dijadikan sebagai hujjah.
Di sinilah bermulanya gerakan anti hadits di dalam masyarakat Islam di Timur dan Barat. Gerakan ini bukanlah baru karena dakwaan-dakwaan seperti itupun telah ada lebih 1300 tahun lalu. Sekiranya kita memperhatikan hujjah-hujjah golongan anti hadits pada masa kini, kita tidak mendapati suatu hujjah barupun meski mereka menyebut diri mereka sebagai The Thinkers ataupun yang sering digelar sebagai Kaum Intelektual. Ini tidaklah mengherankan karena imam Syafi’I sendiripun mengatakan mereka sebagai Intelektual. Hujjah-hujjah merekapun sudah dibantah oleh ulama’-ulama’ Islam. Sayangnya, buku-buku ini jarang ditemukan oleh kebanyakan orang. Buku-buku ini ditulis dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris yang sukar dimengerti oleh orang-orang yang tidak menguasai kedua bahasa ini.
Di antara pelopor-pelopor golongan ini yang terkenal dalam priode ini adalah Rasyad Khalifa, Ismail Adham, Kassim Ahmad dan Othman Ali.

C. Bahaya Ajaran Ingkar al-Sunnah
Serangan terhadap akidah memang telah kita kenali bentuk dan rupanya. Tetapi yang menyedihkan dan memilukan, apabila serangan atas iman dan Islam itu datang dari orang yang mengaku beriman kepada Allah dan hari kiamat, orang yang kita lihat mengerjakan shalat, puasa, zakat dan ibadah-ibadah sunnah. Tetapi orang yang sama jugalah yang mempersoalkan cara perbuatan shalat yang kita lakukan, cara puasa, cara haji dan lain sebagainya. Mereka mengatasnamakan intelektual yang membebaskan akal manusia dari belenggu taklid, belenggu kebekuan, yang meletakkan kedudukan akal di tempat yang sewajarnya sesuai dengan kemuliaan dan kelebihan yang Allah berikan sehingg akhirnya mereka mengatakan bahwa hanya dengan akallah kita mampu memahami dan menguasai ajaran-ajaran yang terkandung di dalam Alqur’an. Mereka merasa tidak butuh penjelasan nabi dan Rasul, lebih-lebih lagi jika rasul itu adalah Muhammad Ibn Abdullah saw.
Mereka berhujjah bahwa ajaran-ajaran as-Sunnah adalah hasil penafsiran dan terjemahan ulama tradisional yang terkokong dan terikat dengan kaedah tafsir yang konfensional, lama, usang dan sempit. Mereka menuduh bahwa Rasulullah saw. sendiri tidak mengamalkan yang demikian, apalagi mengajarkan pada para sahabat. Mereka memperkuat hujjah dengan mengambil contoh hadits-hadits dha’if, yang lemah dan palsu, tetapi mereka menyembunyikan hadits-hadits yang nyata dan benar serta disepakati keshahihannya.
Mereka mungkin dilihat sebagai pembela umat Islam yang mengaku sebagai kaum intelektual, tetapi sebenarnya mereka adalah musush dalam selimut. Golongan ini tidak ubahnya seperti orang-orang kafir yang memperdebatkan tentang Rasullah saw, padahal Beliau telah dikuatkan dengan mu’jizat, tetapi orang-orang kafir itu tetap tidak beriman. Kebenaran dan petunjuk yang ada di hadapan mereka telah tertutup oleh sifat kesombongan. Padahal, Allah swt. Telah memberikan peringatan yang jelas di dalam (Q.S. an-Nisa’ : 115) sebagai berikut :

Terjemah :
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari uraian yang telah kami tulis pada halaman-halaman sebelumnya dapatlah kami mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.Ingkar al-Sunnah adalah suatu tindakan penolakan terhadap hadits-hadits Rasulullah saw, dengan membatasi diri hanya kepada Alqur’an saja sebagai dasar dan sumber hukum.
2.Gerakan ini bukanlah gerakan baru karena hal ini telah ada lebih dari 1300 tahun lalu. Catatan pertama tentang Ingkar al-Sunnah pernah dituliskan oleh imam Syafi’I (150-204 H) di dalam bukunya al-Umm. Sekiranya kita memperhatikan Hujjah-hujjah golongan anti hadits pada masa kini, kita tidak akan mendapatkan suatu hujjah barupun meski mereka menyebut diri mereka sebagai kaum intelektual. Hujjah-hujjah merekapun telah dibantah oleh ulama’-ulama Islam. Akan tetapi, buku-buku itu jarang ditemukan, buku-buku itu ditulis dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris yang sulit dipahami oleh orang-orang yang tidak menguasai kedua bahasa ini.
3.Gerakan Ingkar al-Sunnah ini sangatlah berbahaya sebab mereka mungkin dilihat sebagai pembela umat Islam, padahal mereka sebenarnya musuh dalam selimut. Golongan ini termasuk kafir sebagaimana yang disebutkan dalam Surah an-Nisaa’ ayat 115. dalam ayat ini juga disebutkan ganjaran bagi orang-orang yang mengingkari Rasul.

0 komentar:

rkkautsar's blog
Template by - Abdul Munir | Daya Earth Blogger Template