Zuhud
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
1. Dalam sejarah Islam dijelaskan bahwa sebelum timbulnya aliran tasawuf terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud atau asceticisme timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II Hijriah. Aliran ini timbul sebagai reaksi terhadap hidup mewah dari khalifah dan keluarga serta pembesar-pembesar Negara sebagai akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah Islam meluas ke berbagai daerah, dimana orang melihat perbedaaan besar antara hidup sederhana dari Rasul serta sahabat dan para khalifah yang empat yaitu Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali karramallahu wajha.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Zuhud
Dewasa ini banyak orang yang salah dalam memaknai atau mentafsirkan kata Zuhud. Sebagian orang banyak menafsirkan sebagai sikap hidup yang membenci dunia, hidup mengasingkan diri di masjid atau juga sambil bertasbih dan bertahlil sebaik-baiknya.[2]
Pada hal yang dimaksud tidak demikian, ukuran zuhud bukanlah terletak pada banyak dan sedikitnya harta, melainkan terletak pada sikap mental manusia.
Musa bin Thalha berkata: “ Zuhud terhadap dunia banyak keuntungannya. Engkau tidak akan banyak mengeluh dan risau karena kehilangan dan kekuranga harta. Engkau tidak akan banyak menguras keringat jika rezkimu berkurang. Zuhud kepada dunia dapat membawa dirimu lebih santai, lebih tenteram dan lebih beriman kepada Allah akan membantu kezuhudanmu, zuhud adalah engkau tidak cenderung pada dunia dan orang yang zuhud menyimpan harta di tangannya, buku di dalam hatinya.[3]
Allah tidak melarang kita berusaha, berdagang atau melakukan jual beli. Sejarah umat Islam mencatat, bahwa kehidupan zuhud telah dilaksanakan sejak zaman para sahabat. Para zahid dan zahidah di zaman Rasulullah saw., dan para sahabat bukan hanya menghabiskan hidupnya untuk beribadah, tetapi juga rajin bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup, berdagang dan bertani. Bila usahanya mencapai hasil, maka dinafkahkan ke jalan yang diridhai Allah. Orientasi hidup mereka sama sekali bukan menumpuk kekayaan untuk kepentingan pribadi. Hal seperti itulah yang dimaksud dengan zuhud.[4]
Oleh karena itu setiap orang yang mendahulukan dunia, menyenanginya baik dari kalangan ulama atau lainnya, maka harus berkata tidak benar dalam berfatwa atau mengambil hukum. Hal demikian telah terjadi di kalangan kita sekarang ini. Orang-orang yang maju untuk berfatwa dari kalangan kaum yang tidak bersifat zuhud, dan ilmu pengetahuan, lalu cita-cita mereka hanyalah makan dan minum, mengenyangkan diri mengikuti sahwat, berdekatan dengan raja dan tokoh, lalu mereka meubah hukum agama Allah.[5]
Itulah sebabnya sehingga para sahabat dari kaum sufi yang bersikap zuhud padahal secara materi mereka memiliki harta benda yang melimpah ruah. Dengan membudayakan hidup berzuhud mereka rela meninggalkan kenikmatan duniawi dan mendapatkan nafsu syahwat.
B. Cara Mewujudkan Zuhud.
Zuhud tidak akan bisa sempurna dan terwujud kecuali dengan 3 pandangan yang shahih:
1. Melihat dunia, cepat lenyap, hancur, kurang dan dunia ini amat rendah, lalu selalu membawa derita dalam bersaing tentang keduniaan dan senang kepadanya dan hal itu juga berdampak kepayaan dan beberapa kesulitan, orang yang mencari dunia tak hentinya untuk menjumpai beberapa kesedihan sebelum mendapatkannya, begitu juga sesudahnya dan bila telah lepas dari padanya ini.[6]
2. Memandang kepada akhirat dan ia akan tiba dan harus tiba masanya, ia kekal abadi kebahagiaan dan kebaikan di dalamnya amat mulia, perbedaan antara barang dunia dengan akhirat sebagaimana digambarkan oleh Allah swt.:
Artinya: “dan pahala akhirat lebih baik dari pahala dunia” (Q.S. al-A’la : 17)
Akhirat adalah beberapa kebaikan sempurna dan kekal, sedang dunia adalah bebarapa khayalan, kurang, terputus dan akan hancur. Apabila telah membandingkan antara pandangan ini maka harus memilih apa yang dipilih akal, lalu berzuhud terhadap apa yang harus di zuhudi. Setiap orang akan mempunyai watak untuk meninggalkan kemanfaatan sementara dan kecanduan yang sebentar untuk manfaat kelak dan kelezatan yang ghaib yang dinanti kecuali bila tampak keutamaan yang pertama yang berada di dunia ini, lalu semangatnya tinggi untuk mencapainya.[7]
Apabila mereka memilih dunia yang akan hangus dan kurang ini mungkin karena kurang jelas keutamaan perbedaan keutamaan baginya dan mungkin karena kurang semangat kepada yang lebih utama dan masing-masing karena lemah keyakinan, iman dan lemah akal serta lemah mata hati. Sesungguhnya orang yang senang kepada dunia dan memilihnya adakalanya ia harus membenarkan bahwa di sana ada yang lebih mulia dan lebih kekal, adakalanya ia tidak membenarkan. Apabila ia tidak membenarkan maka jelas ia tidak memiliki keimanan sama sekali, apabila membenarkan lalu tidak memilihnya maka ia adalah orang yang akalnya tidak sehat dan tidak bisa memilih dengan tepat.[8]
Oleh karena itu Rasul dan para sahabat meletakkan dunia di belakang punggung. Mereka tidak antusias padanya, lalu dilepaskan dan tidak disenangi lagi. Mereka telah menghindari dan tidak condong kepadanya, lalu dianggap sebagai penjara, bukan surga. Mereka telah melakukan zuhud yang sebenarnya. Apabila mereka berkeinginan maka yang disenangi akan tercapai.
3. Bersifat qana’ah. Perilaku zuhud tidak akan tercapai kalau kita belum memiliki sifat qana’ah, yaitu selalu puas terhadap apa yang ada, karena qana’ah sesungguhnya adalah harta kekayaan yang tidak pernah habis. Para pejalan rohani senantiasa menjaga sifat ini agar perilaku zuhudnya tetap terpelihara. Menurut mereka, sifat qana’ah adalah menemukan kecukupan di dalam apa yang ada di tangan, dan tidak menginginkan apa yang tak ada di tangan.
Muhammad Ali at-Tirmidzi menegaskan “qa’anah adalah kepuasan jiwa atas rezki yang dijatuhkan kepadanya”. Seorang sufi lainnya ditanya, siapakah orang yang paling qana’ah di antara manusia? Dia menjawab yaitu orang yang paling berguna bagi umat manusia dan paling sedikit tuntutannya dalam persoalan rezeki. [9]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Berbagai macam orang telah menafsirkan tentang zuhud. Ada pendapat bahwa zuhud adalah pada hakikatnya tidak membenai dunia, tetapi zuhud bermakna tidak terpengaruh dengan harta duniawi. Sedangkan menurut imam Al-Ghazali dalam kitabnya ilhya ulumuddin beliau menafsirkan bahwa zuhud adalah tidak menyukai sesuatu, dan mengarahkan kepada orang lain.
2. Sifat zuhud tidak akan tertanam atau terwujud dalam diri seseorang kecuali dengan 3 pandangan yang shahih, pertama yaitu melihat dunia akan lenyap, hancur dan melihat dunia amat rendah dibandingkan akhirat. Yang kedua yaitu memandang akhirat sebagai keabadian amat mulia. Yang ketiga adalah memiliki sifat qana’ah. Dengan memiliki 3 pandangan di atas, maka insya Allah sifat zuhud akan terwujud.
[1] Prof. Dr. Harun Nasution., Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Cet. IX; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995), h. 69
[2] Asfa Dary Bya., Jejak Langkah Mengenal Allah, (Cet. III;
[4] Harun Nasution., op. cit, h. 67
[5] Ibn Qayyim Al-Juiziyah., Memetik Manfaat Al-Qur’an, (Cet. I;
[8] Syekh Abdullah bin Alawi al-Haddad., Peringatan Bagi Seluruh Umat, (Cet. III; Darul Haawi, 1994), h. 109
0 komentar:
Posting Komentar